Minggu, 21 Maret 2010

DERAJAT HADITS-HADTS TENTANG BACAAN WAKTU BERBUKA PUASA
Written by admin
Friday, 10 February 2006 12:21
Oleh : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dibawah ini akan saya turunkan beberapa hadits tentang dzikir atau do'a di waktu berbuka puasa Kemudian akan saya terangkan satu persatu derajatnya sekalian. Maka, apa-apa yang telah saya lemahkan (secara ilmu hadits) tidak boleh dipakai atau diamalkan lagi, dan mana yang telah saya nyatakan syah (shahih atau hasan) bolehlah saudara-saudara amalkan.

Hadits Pertama
"Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul 'Alim (artinya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui)". [Riwayat : Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya 'Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu'jamul Kabir]
Sanad hadits ini sangat Lemah/Dloif, Mengapa ?
Pertama :
Ada seorang rawi yang bernama : Abdul Malik bin Harun bin 'Antarah.
Dia ini rawi yang sangat lemah.
[1]. Kata Imam Ahmad bin Hambal : Abdul Malik Dlo'if
[2]. Kata Imam Yahya : Kadzdzab (pendusta)
[3]. Kata Imam Ibnu Hibban : Pemalsu hadits
[4]. Kata Imam Dzahabi : Dia dituduh pemalsu hadits
[5]. Kata Imam Abu Hatim : Matruk (orang yang ditinggalkan riwayatnya)
[6]. Kata Imam Sa'dy : Dajjal, pendusta.
Kedua :
Di sanad hadits ini juga ada bapaknya Abdul Malik yaitu : Harun bin 'Antarah. Dia ini rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni telah melemahkannya. Sedangkan Imam Ibnu Hibban telah berkata : "Munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya".
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Al-Albani dan lain-lain
Periksalah kitab-kitab :
[1]. Mizanul I'tidal 2/666
[2]. Majmau Zawaid 3/156 oleh Imam Haitsami
[3]. Zaadul Ma'ad di kitab Shiyam/Puasa oleh Imam Ibnul Qoyyim
[4]. Irwaul Ghalil 4/36-39 oleh Muhaddist Al-Albani.

Hadits Kedua.
"Artinya : Dari Anas, ia berkata : Adalah Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam apabila berbuka beliau mengucapkan : Bismillahi, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka)". [Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu'jam Shagir hal 189 dan Mu'jam Awshath]
Sanad hadits ini Lemah/Dlo'if, Mengapa ?
Pertama :
Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly.
Dia seorang rawi yang lemah.
[1]. Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu'afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.
[2]. Kata Imam Ibnu 'Ady : Ia menceritakan hadits-hadits yang tidak boleh diturut.
[3]. Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni : Lemah !
[4]. Saya berkata Dia inilah yang meriwayatkan hadits lemah bahwa imam tidak boleh adzan (lihat : Mizanul I'tidal 1/239).
Kedua :
Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan.
[1]. Kata Al-Albani : Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.
[2]. Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur'ah dan Ibnu Hajar : Matruk.
[3]. Kata Imam Ibnu 'Ady : Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut (lihat Mizanul I'tidal 2/7)
[4]. Saya berkata : Al-Ustadz Abdul Qadir Hassan membawakan riwayat Thabrani ini di kitabnya Risalah Puasa akan tetapi beliau diam tentang derajat hadits ini ?

Hadits Ketiga
"Artinya : Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Sumtu ...dst..dst.." [Riwayat : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunniy]
Lafadz dan arti bacaan di hadits ini sama dengan riwayat/hadits yang ke 2 kecuali awalnya tidak pakai Bismillah.
Dan sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.
Pertama :
"Mursal, karena Mu'adz bin (Abi) Zur'ah seorang Tabi'in bukan shahabat Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam. (hadits Mursal adalah : seorang tabi'in meriwayatkan langsung dari Nabi shollallaahu �alaihi wa sallam, tanpa perantara shahabat).
Kedua :
"Selain itu, Mu'adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang Majhul. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta'dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya".

Hadits Keempat
"Artinya : Dari Ibnu Umar, adalah Rasulullah shollallaahu alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : DZAHABAZH ZHOMAA-U WABTALLATIL 'URUUQU WA TSABATAL AJRU INSYA ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa allah). [Hadits HASAN, riwayat : Abu Dawud No. 2357, Nasa'i 1/66. Daruquthni dan ia mengatakan sanad hadits ini HASAN. Hakim 1/422 Baihaqy 4/239]
Al-Albani menyetujui apa yang dikatakan Daruquhni.!
Saya berkata : Rawi-rawi dalam sanad hadits ini semuanya kepercayaan (tsiqah), kecuali Husain bin Waaqid seorang rawi yang tsiqah tapi padanya ada sedikit kelemahan (Tahdzibut-Tahdzib 2/373). Maka tepatlah kalau dikatakan hadits ini HASAN.

KESIMPULAN :
[1]. Hadits yang ke 1,2 dan 3 karena tidak syah (sangat dloif dan dloif) maka tidak dapat dijadikan hujjah/sandaran dan tidak boleh lagi diamalkan.
[2]. Sedangkan hadits yang ke 4 karena riwayatnya telah syah maka bolehlah kita amalkan jika kita suka (karena hukumnya sunnat saja).
[2]. Marilah dalam mengamalkan dan memahami ajaran Islam, kita hanya bersandar pada dalil/sunnah dari hadist2 yang Shahih/Hasan saja.

DAKWAH SALAFIYAH DAN PERSATUAN

Oleh
Ustad Ahmas Faiz Asifudin

Manhaj Salaf, sebagai manhaj Islam itu sendiri merupakan manhaj pemersatu,bukan pemecah-belah. Dakwah Salafiyah adalah dakwah yang mengajak pada persatuan, bukan dakwah yang memecah-belah umat. Persoalannya, umat sekarang sudah terkondisi dengan kotak-kotak hizbiyah, hingga cara pandangnya pun menjadi cara pandang hizbi (bersifat kelompok). Selalu mencurigai orang lain. Benar atau Salah diukur dengan ukuran kelompok, tidak berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akibatnya, dakwah Salafiyah yang mengajak kepada persatuan serta melepas segala belenggu hizbiyah, dipandang dengan penuh kecurigaan sebagai kotak baru yang menambah jumlah perpecahan umat. Ini disebabkan, kebanyakan umat Islam sudah tidak memiliki pemahaman yang jelas lagi tentang agamanya. Dengan kata lain, umat Islam sudah jauh meninggalkan ajaran agamanya, dan terperangkap masuk ke dalam berbagai kelompok hizbiyah, atau ke dalam pusaran hawa nafsunya, maka ketika kebenaran hadir, dianggap salah.

Ketika para pembela dakwah Salafiyah menyatakan bahwa kelompok-kelompok hizbiyah itu sesat, batil dan bid'ah -maka dianggapnya sebagai caci-makian terhadap sesama muslim. Mereka tidak bisa membedakan, antara peringatan supaya orang tidak terjerumus ke dalam kesesatan atau bid’ah hizbiyah, dengan caci-makian terhadap pribadi muslim. Mereka juga tidak mengetahui atau lupa, bahwa para ulama Ahli Hadist banyak memiliki kitab yang berisi peringatan, agar orang jangan mengambil agama atau mengambil riwayat dari Fulan, Fulan atau Fulan, sebab ia seorang pendusta, atau sebagai ahli bid’ah, atau seorang yang tidak layak diambil perkataannya atau hadistnya. Nah, apakah caci-makian seperti itu tertuju kepada pribadi muslim? Tentu bukan! Sebab maksudnya ialah untukmengingatkan umat dari kepalsuan Fulan, perbuatan bid’ahnya atau kedustaannya. Sebab persoalannya adalah persoalan agama. Supaya agama ini tetap terjaga keutuhannya. Dengan demikian, umat Islampun akan tetap terjaga keutuhan persatuannya. Tidak dikotak-kotak dengan belenggu hizbiyah.

Jika kehadiran Rasulullah dahulu dipandang oleh orang kafir Quraisy sebagai pemecah-belah kesatuan bangsa Quraisy, maka –kurang lebih- demikianlah sekarang kehadiran dakwah Salafiyah di tengah golongan-golongan umat Islam. Padahal ia bukanlah dakwah yang baru. Ia merupakan dakwah Rasulullah, para sahabatnya serta para pengikutnya yang mengikuti sunnah beliau. Ia merupakan dakwah yang mengajak kepada penjernihan ajaran Islam dari segala noda syirik, bid’ah, khurafat dan noda-noda lainnya; kemudian mengajak umat, supaya terbiasa melaksanakan ajaran Islam yang bersih dari segenap kotoran yang menyusup. Supaya umat bisa bersatu kembali, lepas dari kungkungan dan disiplin fanatisme golongan. Dan yang terpenting diantara yang paling penting, yaitu terlepas dari ancaman siksa Allah Ta’ala.

Jika kungkungan dan disiplin golongan masih dipertahankan -begitu juga- jika kebatilan ditoleransi, maka persatuan hakiki umat Islam tidak bakal terwujud. Padahal Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan dengan tegas dalam Al-Qur’an serta hadist-hadist shahih, supaya kaum muslimin bersatu padu dalam Islam.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dalam risalah beliau, Al Ushul As Sitah, pada Al- Ashlu Ats Tsani mengatakan,” Allah memerintahkan supaya (kaum Muslimin) bersatu dalam agama, dan melarang berpecah-belah di dalamnya. Karena itu, Allah menjelaskan perintah-Nya ini dengan penjelasan memuaskan yang dapat difahami orang awam. Allah melarang kita, jangan sampai menjadi golongan orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih dari umat sebelum kita, sehingga mereka menjadi binasa. Allah menyebutkan, bahwa Dia memerintahkan kaum Muslimin supaya bersepakat dalam agama, dan melarang mereka berpecah-belah pemahamannya dalam masalah agama. Perintah Allah ini menjadi semakin jelas dengan keterangan menakjubkan yang terdapat dalam Sunnah.

Akan tetapi – sayangnya – kemudian persoalan perpecahan faham dalam masalah pokok-pokok agama serta masalah cabang-cabangnya, justeru menjadi ilmu dan menjadi pemahaman yang baik tentang agama. Sebaliknya, orang yang menyuarakan persatuan (persepsi) dalam agama, justeru dianggap sebagai orang zindik atau gila”[1]

Selanjutnya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan penjelasan dalam syarahnya, tentang dalil-dalil persatuan: baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, amalan sahabat maupun amalan para Salafus Shalih. Ringkasan dari beberapa dalil sebagai berikut:

Dalil Al-Qur’an Al Karim, diantaranya ialah:
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan janganlah kamu mati kecuali sebagai orang-orang muslim (berserah diri). Dan berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah semuanya, dan janganlah
berpecah-belah Dan ingatlah nikmat Allah yang telah diberikan kepada kamu tatkala dulunya saling bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kamu sehingga kamu menjadi bersaudara karena nikmat Allah tersebut. Dan kamu dahulu berada di tepi jurang api neraka,lalu Allah menyelamatkanmu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” [Ali-Imran:102-103]

“Artinya : Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih sesudah datang kepada mereka penjelasan-penjelasan yang benar. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih”. [Ali-Imran:105]

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya, sedangkan mereka bergolongan-golongan, maka tidak ada tanggung jawabmu sedikitpun terhadap mereka. Sesungguhnya perkara mereka hanyalah menjadi urusan Allah, kemudian Allah akan memberitahu kepada mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan”[Al-An’am:159]

Dalil Sunnah, diantaranya, sabda Rasulullah :
“Artinya : Janganlah kalian saling mendengki, saling memuslihati dalam jual beli, saling
membenci, saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian menarik pembeli yang sedang dalam proses pembelian dengan pedagang lain. Jadilah hendaklah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak merendahkannya dan tidak meremehkannya. Takwa adalah disini -beliau- memberikan isyarat kearah dada tiga kali. “cukuplah seseorang dikatakan jahat, bila ia menghina saudaranya yang muslim. Tiap-tiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.” [HR.Muslim, Kitab Al Birri Wash Shilah, Bab Tahri Zulmi Al Muslim Wa Khazlihi Wa Ihtiqarihi Syarh Nawawi XVI/336-337, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha]

Adapun pengamalan para sahabat, diantaranya bahwa betul-betul terjadi perselisihan pendapat pada zaman sahabat dalam masalah ijtihadiyah. Walaupun demikian tidak terjadi perpecahan, permusuhan dan saling membenci satu dengan lainnya karena ijtihadiyah ini. Misalnya kasus yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, tentang penyerangan ke Bani Quraidzah karena mereka mengingkari perjanjian terhadap Rasulullah pada saat terjadi perang Ahzab. Ketika itu, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk tidak shalat Ashar, kecuali setelah sampai di perkampungan Bani Quraidzah. Ternyata ditengah perjalanan, waktu Ashar tiba. Maka sebagian sahabat tetap tidak mau melaksanakan shalat Ashar sampai mereka tiba di Bani Quraidzah. Mereka tetap berpegang kepada perintah Rasulullah. Tetapi sebagian sahabat yang lain,
melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Sebab mereka memahami perintah
Rasulullah tersebut sebagai perintah supaya bersegera menuju Bani Quraidzah,
tidak berarti menunda shalat Ashar. Dan ternyata, kedua pendapat itu dibenarkan oleh Rasulullah. Merekapun tidak saling mencela satu sama lainnya. Sebab persoalannya adalah persoalan ijtihadiyah. (dan ijtihad tersebut dilakukan oleh para tokoh ulama umat, yaitu para sahabat. Masing-masing memahami kedudukan dan ke-ilmuan pihak lain, pen).

Sedangkan pengamalan para Salafush Shalih, ialah bahwa diantara prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah. Yakni, bila masalah khilafiyah itu lahir karena ijtihad yang diperbolehkan dalam agama, maka satu sama lain saling menghargai perselisihan tersebut. Tidak membuatnya saling mendengki, saling memusuhi atau saling membenci. Bahkan mereka menyakini persaudaraan diantara mereka.

Adapun masalah yang tidak boleh diperselisihkan, yaitu segala penyimpangan yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in. Misalnya dalam masalah aqidah. Banyak orang yang tersesat (karena berbeda pemahaman aqidahnya dengan pemahaman para sahabat). Perselisihan dalam masalah aqidah ini -yang sebenarnya tidak diperbolehkan- hanyalah terjadi secara tidak terkendali, setelah perginya generasi-generasi umat terbaik.

Ketika tiga generasi utama umat ini masih ada, penyimpangan masalah aqidah masih dapat dikendalikan. Namun sesudahnya, tersebar luaslah penyimpangan ini. Sehingga terjadilah perselisihan dan perpecahan umat secara luas.

Dengan demikian, barangsiapa yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in,
maka ia menanggung dosanya. Dan perselisihan dalam hal demikian tidak bisa
ditoleransi.

Demikianlah keterangan secara ringkas Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]

Jadi sesungguhnya persatuan merupakan salah satu hal yang prinsip yang diajarkan Islam. Tetapi persatuan kaum muslimin hanya dapat terwujud bila secara lahir-batin, persepsi dan pengalaman mereka sama. Hanya dalam hal-hal yang bersifat ijtihadiyah saja kaum muslimin diberikan keleluasaan untuk tidak sama pendapatnya. Karena kesamaan dalam hal ini tidak mungkin. Dan ketidak-samaan itu sudah terjadi semenjak zaman sahabat. Ketidak-samaan ijtihadiyah tersebut tidak boleh menjadikan umat berpecah-belah. Disamping itu, ijtihad yang dimaksud adalah ijtihadnya para ulama. Yakni, orang-orang yang memiliki kewenangan untuk berijtihad. Bukan ijtihadnya sembarang orang. Dan jika terjadi sembarang orang berijtihad, maka rusaklah agama; kacaulah umat. Na’udzubillah min dzalik.

Intinya, persatuan dan persaudaraan diantara kaum muslimin harus dibangun. Namun harus berdasarkan syarat. Yaitu ikhlas karena Allah, dan dalam koridor ketaatan kepada Allah. Yakni, persaudaraan yang bersih dari noda-noda dan motif-motif duniawi beserta kaitan-kaitannya. Yang menjadi pendorong persaudaraan ini hanyalah keimanan kepada Allah.[3] bukan kesamaan kelompok hizbiyah, kesamaan kepentingan, atau kesamaan-kesamaan lain yang bersifat duniawi, seperti: politik, kedudukan, uang, dll.

Demikianlah uraian yang sangat ringkas. Mudah-mudahan dapat menjadi wacana, bahwa kaum muslimin hanya bisa bersatu, manakala kembali secara benar, dengan pemahaman yang benar kepada agamanya. Meninggalkan cara-cara beragama berdasarkan pendapat-pendapat atau hawa nafsu pribadi atau golongan. Semua itu dengan izin dan taufiq Allah. Wallahu waliyyu at taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Foote Note
[1]. Syarah Al Ushul As Sittah yang digabung dengan syarah Kasyfi Asy Syubuhat, karya Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin hal.151, Al Ashlu Ats Tsani.
[2]. Penjelasan secara lengkap, silahkan lihat Syarah Al Ushul As Sittah yang digabung dengan syarah Kasyfi Asy Syubuhat, karya Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin hal.151, Al Ashlu Ats Tsani.
[3]. Lihat Minhaj Al muslim, Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Bab Tsani, Fashl Sabi’,
hal. 101.

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al - Albani Abdullah

Nama beliau adalah Abu abdi rahman muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Al Bani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota albani yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu.
Ayah albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad zagho naik tahta di albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum'iyah al-Is'af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida'iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur'an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.
Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul "al-Mughni'an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar". Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya' Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. "Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit(bangkrut)".
Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus. Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.
Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Pengalaman Penjara
Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid'ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.
Beberapa Tugas yang Pernah Diemban
Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jamiyah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.







Beberapa Karya Beliau
Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau adalah :
• Adabaz-Zifat fi As-Sunnah al-Muthahharah
• Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
• Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
• Silisilah al-Ahadits adh-Dhariyah wal mandhu'ah
• At-Tawasul wa anwa'uhu
• Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami'ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.
Wafatnya
Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi'ah wa jazahullahu'an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na'im al-Muqim.

Macam-Macam Bid’ah di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan barakah dan penuh dengan keutamaan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan ibadah yang banyak agar manusia semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Akan tetapi sebagian dari kaum muslimin berpaling dari keutamaan ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah. Mereka lupa firman Allah ta’ala, “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3). Mereka ingin melalaikan manusia dari ibadah yang disyariatkan. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Oleh sebab itu pada tulisan ini kami mencoba mengangkat beberapa amalan bid’ah yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi tidak diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau, semoga dengan mengetahuinya kaum muslimin bisa meninggalkan perbuatan tersebut.
Bid’ah Berzikir Dengan Keras Setelah Salam Shalat Tarawih
Berzikir dengan suara keras setelah melakukan salam pada shalat tarawih dengan dikomandani oleh satu suara adalah perbuatan yang tidak disyariatkan. Begitu pula perkataan muazin, “assholaatu yarhakumullah” dan yang semisal dengan perkataan tersebut ketika hendak melaksanakan shalat tarawih, perbuatan ini juga tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula oleh para sahabat maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Oleh karena itu hendaklah kita merasa cukup dengan sesuatu yang telah mereka contohkan. Seluruh kebaikan adalah dengan mengikuti jejak mereka dan segala keburukan adalah dengan membuat-buat perkara baru yang tidak ada tuntunannya dari mereka.
Membangunkan Orang-Orang untuk Sahur
Perbuatan ini merupakan salah satu bid’ah yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memerintahkan hal ini. Perbedaan tata-cara membangunkan sahur dari tiap-tiap daerah juga menunjukkan tidak disyariatkannya hal ini, padahal jika seandainya perkara ini disyariatkan maka tentunya mereka tidak akan berselisih.
Melafazkan Niat
Melafazkan niat ketika hendak melaksanakan puasa Ramadhan adalah tradisi yang dilakukan oleh banyak kaum muslimin, tidak terkecuali di negeri kita. Di antara yang kita jumpai adalah imam masjid shalat tarawih ketika selesai melaksanakan shalat witir mereka mengomandoi untuk bersama-sama membaca niat untuk melakukan puasa besok harinya.
Perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak di contohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga orang-orang saleh setelah beliau. Yang sesuai tuntunan adalah berniat untuk melaksanakan puasa pada malam hari sebelumnya cukup dengan meniatkan dalam hati saja, tanpa dilafazkan.
Imsak
Tradisi imsak, sudah menjadi tren yang dilakukan kaum muslimin ketika ramadhan. Ketika waktu sudah hampir fajar, maka sebagian orang meneriakkan “imsak, imsak…” supaya orang-orang tidak lagi makan dan minum padahal saat itu adalah waktu yang bahkan Rasulullah menganjurkan kita untuk makan dan minum. Sahabat Anas meriwayatkan dari Zaid bin Sabit radhiyallahu ‘anhuma, “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat. Maka kata Anas, “Berapa lama jarak antara azan dan sahur?”, Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca ayat al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menunda Azan Magrib Dengan Alasan Kehati-Hatian
Hal ini bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan kita untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari Muslim)
Takbiran
Yaitu menyambut datangnya ied dengan mengeraskan membaca takbir dan memukul bedug pada malam ied. Perbuatan ini tidak disyariatkan, yang sesuai dengan sunah adalah melakukan takbir ketika keluar rumah hendak melaksanakan shalat ied sampai tiba di lapangan tempat melaksanakan shalat ied.
Padusan
Yaitu Mandi besar pada satu hari menjelang satu ramadhan dimulai. Perbuatan ini tidak disyariatkan dalam agama ini, yang menjadi syarat untuk melakukan puasa ramadhan adalah niat untuk berpuasa esok pada malam sebelum puasa, adapun mandi junub untuk puasa Ramadhan tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mendahului Puasa Satu Hari Atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah telah melarang mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa pada dua hari terakhir di bulan sya’ban, kecuali bagi yang memang sudah terbiasa puasa pada jadwal tersebut, misalnya puasa senin kamis atau puasa dawud. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendahului puasa ramadhan dengan melakukan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya. Kecuali bagi yang terbiasa melakukan puasa pada hari tersebut maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perayaan Nuzulul Qur’an
Yaitu melaksanakan perayaan pada tanggal 17 Ramadhan, untuk mengenang saat-saat diturunkannya al-Qur’an. Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dari praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para sahabat sepeninggal beliau.
Berziarah Kubur Karena Ramadhan
Tradisi ziarah kubur menjelang atau sesudah ramadhan banyak dilakukan oleh kaum muslimin, bahkan di antara mereka ada yang sampai berlebihan dengan melakukan perbuatan-perbuatan syirik di sana. Perbuatan ini tidak disyariatkan. Ziarah kubur dianjurkan agar kita teringat dengan kematian dan akhirat, akan tetapi mengkhususkannya karena even tertentu tidak ada tuntunannya dari Rasulullah maupun para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.
Inilah beberapa bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, khususnya di negeri kita, semoga Allah ta’ala memberikan kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa meninggalkan perkara-perkara tersebut dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Penulis: Abu Sa’id Satria Buana
Muroja’ah: Ustadz Abu Salman
Artikel www.muslim.or.id

Bahaya Hadits dloif

Di antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’ (palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir orang yang dikehendaki Alloh ‘Azza wa Jalla, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy dan ulama lainnya.
Penyebaran yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).
Adalah hikmah Alloh ‘Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, yang artinya: “Semoga Alloh mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR: Abu Daud dan at-Turmudzy yang menilainya shahih).
Para imam tersebut telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Ilmu Mushthalah Hadits.

Para ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat (untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.

Sekalipun para imam tersebut telah melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi sangat disayangkan sekali kita melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula, kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid (penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’ tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua akan terkena ancaman sabda beliau Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Barangsiapa yang telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)

Walau pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai imbasnya mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat isyarat dari makna hadits Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Cukuplah seseorang itu berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring lagi-red.,).” (HR: Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.

Kemudian dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”

Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, yang artinya: “Barangsiapa yang berkata dengan mengatas namakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.

Selanjutnya, Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta, maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.

Dari apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut (cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, “Sesungguhnya berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu; barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR: Muslim dan selainnya)

Wallahu A’lam.

(Sumber Rujukan: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51 dengan sedikit perubahan dan pengurangan)

Bacaan Qunut Dalam Shalat

Sudah menjadi satu kebiasaan di kebanyakan masjid yang ada di tanah air kita ketika shalat Shubuh berjamaah, imam selalu membaca do'a qunut setelah rukuk pada raka'at terakhir dengan bacaan "Allohummahdinaa fiiman hadait ...dst." kemudian diaminkan oleh para makmum di belakangnya.
Do'a tersebut kebanyakan telah dihafal oleh kalangan awam, lebih-lebih mereka yang dianggap pandai dalam urusan agama. Hal ini dikarenakan do'a qunut ini tidak pernah mereka tinggalkan. Atau, mereka menganggap itu merupakan sunnah rawatib (sunnah yang selayaknya dilaksanakan terus) dalam shalat Shubuh. Atau bahkan yang lebih ekstrem, menganggap bahwa qunut Shubuh merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, sehingga tidak jarang kita jumpai seorang makmum yang sedang shalat dengan seorang imam yang tidak dikenalnya, kemudian tatkala imamnya tidak membaca qunut dan langsung sujud setelah i'tidal, maka dia (si makmum) segera membatalkan shalatnya dan mengulangi shalatnya, atau kalau tidak demikian maka dia terus mengikuti imamnya sampai salam kernudian mengulangi shalat Shubuhnya karena dia menganggap shalat Shubuhnya tidak sah tanpa qunut.

Terjadinya hal tersebut tidak lain karena faktor ketidaktahuan mereka dalam masalah ini, atau memang mereka tidak mau tahu lantaran mereka telah terjerat oleh perangkap taqlid buta, atau fanatik madzhab, atau sebab lainnya.
Untuk mengetahui bagaimana yang benar, kita harus kembalikan kepada Alloh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui semua khilaf di antara manusia. Untuk itu, pada edisi kali ini penulis akan mengulas dengan singkat permasalahan qunut dalam shalat baik qunut shalat Shubuh, qunut Witir, atau yang lainnya. Mudah-mudahan Alloh Ta'ala memudahkannya.
1 Qunut Dalam Shalat Subuh
Termasuk kebiasaan kebanyakan orang, mereka terus-menerus melakukan qunut di setiap shalat Shubuh saja, sedangkan dalam shalat yang lain mereka tidak melakukannya.
Dalil mereka:
1. Mereka berpegang dengan hadits:
Dari Anas beliau berkata:
"Rasulullah, senantiasa berqunut dalam shalat Shubuhnya sampai meninggal dunia."
Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 3/110, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/312, Imam Ahmad dalam al-Musnad 3/162, ad-Daruquthni dalam as-Sunan 2/39, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/201, dan ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani al-Atsar 1/248.
Di dalam hadits ini ada seorang perawi lemah yang bernama Abu Ja'far ar Razi yang telah dikritik oleh para pakar hadits:
Ahmad bin Hanbal mengatakan tentangnya: "Dia bukan perawi yang kuat."
Ibnul Madini berkata: "Dia adalah perawi yang mencampur hadits (salah dalam meriwayatkan hadits)."
Abu Zur'ah berkata: "Dia sering salah (dalam meriwayatkan hadits)."
Ibnu Hibban berkata: "Dia sering bersendirian dengan riwayat-riwayat yang mungkar, meriwayatkan hadits-hadits dari para perawi yang masyhur (keterpercayaannya) ."2
Ibnul Qayyim mengatakan:
"Abu Ja'far telah dilemahkan oleh Imam Ahmad dan lainnya."3
Syaikh al-Albani dalam Silsilah adh-Dhaifah hadits no. 1238, beliau mengatakan: "Hadits ini mungkar." Dengan sebab perawi yang disebutkan di atas.

2. Ada hadits lain yang semakna dengan hadits pertama yang dijadikan sandaran pengkhususan qunut secara terus-menerus dalam shalat Shubuh, dan dianggap sebagai penguat hadits yang pertama, yaitu:
Dari Anas beliau berkata:
"Rasulullah melakukan qunut, begitu juga Abu Bakr, Umar, dan Utsman.4
Takhrij Hadits:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Baihaqi (dalam as-Sunan al-Kubra 2/201) dan oleh Daruquthni (dalam as-Sunan 2/166).
Dalam hadits ini ada dua orang perawi yang bernama Ismail bin Muslim al-Makki dan 'Amr bin ' Ubaid, yang keduanya telah dikritik oleh para pakar hadits, di antaranya:
Imam Baihaqi mengatakan:
"Kami tidak menjadikan Ismail dan 'Amr sebagai hujjah (dalam periwayatan hadits).5
Al-Kharib dalam al-Kifayah (hal. 372) mengatakan: "Dia (Ismail) adalah perawi yang ditinggalkan haditsnya."
Syaikh al-Albani mengatakan:
"Demikian juga Imam Nasa'i mengatakannya (Ismail adalah perawi yang ditinggalkan haditsnya) dan telah ditinggalkan oleh para pakar hadits. Adapun 'Amr bin 'Ubaid, maka dia telah dituduh dusta ditambah lagi dia seorang Mu'tazilah. Kemudian (hadits ini diriwayatkan oleh) al-Hasan al-Bashri, walaupun dia seorang yang tinggi derajatnya tetapi dia memalsukan hadits dengan cara 'an'anah: yaitu dengan mengatakan ``dari'', andaikan sanadnya shahih sampai kepada beliau (al Hasan al Bashri) maka tetap hadits itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah karena telah diriwayatkan oleh dua perawi yang ditinggalkan haditsnya.6
Kesimpulan tentang hadits qunut shubuh secara terus-menerus:
Dari hadits-hadits yang telah kami paparkan semuanya tidak bisa dipakai sebagai hujjah untuk melegalisasi qunut Shubuh secara terus-menerus. Adapun sebagian ulama yang menghasankan hadits di atas dengan sebab banyaknya jalan riwayat hadits tersebut, maka tidak dapat diterima karena semuanya tidak dapat saling menguatkan dengan sebab sangat lemahnya dan bisa dikatakan mungkar karena menyelisihi hadits yang shahih dari Anas sendiri yang telah mengingkari adanya qunut Shubuh secara terus-menerus (sebagaimana akan kami jelaskan nanti).
1.1 Hukum Qunut Shubuh Secara Terus Menerus
Hadits yang disebutkan di atas tidak bisa dijadikan sandaran sebagai dalil qunut dalam shalat Shubuh secara terus-menerus karena kelemahannya. Oleh karenanya, banyak ulama yang telah mengomentari qunut Shubuh ini, di antaranya;
1. Thariq bin Asyyam seorang sahabat yang mengikuti shalat berjamaah di belakang Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali bin Abu Thalib beliau mengatakan qunut Shubuh adalah bid'ah sebagaimana dalam hadits berikut ini:
Dari Sa'd bin Thariq al-Asyja'i berkata: Aku berkata kepada bapakku (1hariq): "Wahai bapakku, sungguh engkau telah mengikuti shalat berjamaah bersama dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali bin Abu Thalib, apakah mereka semua melakukan qunut pada shalat Shubuh?" Dia menjawab: "Wahai anakku itu adalah bid'ah."7
2. Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan para ulama yang semisalnya berdalil dengan hadits di atas (hadits Sa'd) bahwa qunut ratib (terus-menerus) dalam shalat Shubuh tidak dibolehkan.8
3. Imam Ahmad mengatakan:
"Tidak ada qunut dalam shalat Shubuh kecuali bila terjadi musibah (Nazilah) yang menimpa kaum muslimin."9
4. Al-Mubarakfuri mengatakan (ketika mengomentari hadits-hadits tentang qunut):
"Qunut itu adalah qunut Nazilah, dan tidak pernah ada hadits shahih menerangkan adanya qunut dalam shalat kecuali qunut Nazilah."10
Maka dapat kita simpulkan hukum qunut dalam shalat Shubuh secara terus-menerus adalah bid'ah, yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi kita dan para sahabatnya; selayaknya bagi setiap muslim untuk meninggalkannya. Namun sangat disayangkan banyak di kalangan kaum muslimin meninggalkan hadits-hadits yang shahih tentang qunut Nazilah, kemudian mengamalkan hadits yang lemah bahkan mungkar tentang qunut shalat Shubuh secara terus-menerus.11
Kalaupun Shahih, Hadits Itu Bukan Dalil Untuk Terus-Menerus Qunut Shubuh
Andaikan kita mengatakan hadits itu shahih, itu pun tidak dapat dijadikan sebagai dalil dikarenakan beberapa hal:
1. Perkataan (qunut pada shalat Shubuh) dalam hadits Anas di atas mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna tunduk patuh, khusyuk, thuma'ninah, dan terus-menerus taat. Perhatikan beberapa makna ayat ini :

1. Kepunyaan-Nyalah siapa saja yang di langit dan di bumi, semuanya tunduk patuh hanya kepada-Nya. (QS. ar-Rum [30]: 26).
2. Dan barangsiapa di antara kalian (istri-istri Nabi) terus-menerus taat kepada Alloh dan Rasul-Nya dan mengerjakan amalan shalih, ma.ka Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat. (QS. al-Ahzab[33]:31)
3. Dan berdirilah (dalam shalatmu) dalam keadaan khusyuk. (QS. al-Baqarah[2]:238)
Dari keterangan beberapa makna qunut di atas, kita ketahui bahwa (seandainya benar/shahih hadits Anas di atas), maka yang dimaksud oleh Anas adalah do'a ketika i'tidal yang disyariatkan, bukan do'a qunut yang mereka maksudkan karena dalam I'tidal harus khusyuk, thuma'ninah, dan tenang, dan tidak ada keterangan khusus makna qunut dalam hadits Anas itu adalah ucapan "Allohumahdinaa fiiman hadait... dst. " serta karena Anas tidak mengatakan bahwa Rasulullah senantiasa mengucapkan do'a khusus qunut Shubuh yang berbunyi "Allohumahdinaa fiiman hadait... dst." Maka dari mana mereka mengkhususkan qunut ketika shalat Shubuh dengan do'a itu?

2. Dalam hadits yang shahih Anas pernah meriwayatkan hadits yang menjelaskan bahwa Nabi melaksanakan qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib serta tidak mengkhususkan qunut dalam shalat Shubuh. Demikian juga yang diriwayatkan oleh al-Bara' bin Azib.12 Sehingga kita dapat mengatakan bahwa yang shahih: Nabi tidak mengkhususkan qunut dalam shalat Shubuh saja, bahkan beliau qunut pada shalat Shubuh dan Maghrib.
3. Qunut yang dimaksud oleh Anas adalah qunut Nazilah (do'a supaya diselamatkan dari suatu musibah). Oleh karena itu, Anas sendiri pernah meriwayatkan hadits Nabi dengan mengatakan:
``Rasulullah melakukan qunut (mendo'akan kehancuran) atas suatu kaum di antara kaum-kaum Arab selama sebulan, kemudian beliau tinggalkan (qunut tersebut).13
4. Bahwasanya Anas sendiri meriwayatkan bahwa bukan kebiasaan Nabi beserta para sahabatnya melakukan qunut dalam shalat, akan tetapi permulaan adanya do'a qunut adalah ketika Nabi mendo'akan (kehancuran) atas Ri'l dan Dzakwan sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oteh Imam Bukhari dan Muslim:

1. ``Dan Anas berkata: Rasulullah pernah mengutus tujuh puluh orang laki-laki yang dikenal sebagai al-Qurra' (para pembaca al-Qur'an) dalam sebuah keperluan. Kemudian tatkala sampai di sumur Maunah, mereka dihadang oleh penduduk dua kampung dari bani Sulaim, bani Ri'l, dan bani Dzakwan, maka mereka mengatakan: "Demi Alloh kami tidak bermaksud kepada kalian, kami hanya ingin lewat karena sebuah keperluan Rasulullah." Kemudian mereka membunuh mereka (utusan Rasulullah tersebut). Maka Rasulullah mendo'akan kehancuran mereka dalam shalat Shubuh selama sebulan, dan itulah permulaan (adanya) Qunut kami, dan dulu kami tidak membaca do'a qunut."14
Hadits di atas menunjukkan bahwa bukan termasuk petunjuk Nabi terus-menerus melaksanakan qunut, bahkan qunut Nabi hanya sebatas kebutuhan saja, tatkala musibah itu berlalu maka Nabi berhenti dari qunutnya. Dan oleh karena itu, tatkala Rasulullah berdo'a qunut Nazilah dalam shalat Isya' selama satu bulan untuk keselamatan beberapa kaum muslimin yang hendak datang kepada beliau, lalu suatu ketika beliau berhenti dari qunutnya, kemudian Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah akan hal itu, maka Rasulullah bersabda:

Tidak tahukah engkau bahwa mereka (yang kita do'akan) telah datang?15
Maka inilah qunutnya Rasulullah, beliau tidak berqunut kecuali ada musibah yang menghadang kaum muslimin (Nazilah), dan dilakukan sebatas kebutuhan, kemudian beliau tinggalkan.

2 Qunut Nazilah / Nawazil
Qunut Nazilah / Nawazil adalah do'a kebaikan/kemenangan bagi kaum muslimin dan do'a kehancuran bagi orang-orang kafir/musuh Islam yang dibaca ketika shalat untuk memohon keselamatan dari Alloh Ta'ala, tatkala kaum muslimin ditimpa suatu marabahaya atau musibah.
Hukum qunut Nazilah adalah sunnah dilakukan setelah rukuk pada raka'at terakhir di setiap shalat fardhu, setelah mengucapkan Saami'Allahu liman hamidah.
Akan tetapi yang sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin tidak mengetahui qunut Nazilah sehingga mereka meninggalkan sama sekali sunnah ini, padahal hadits-hadits tentang qunut Nazilah banyak sekali dan derajatnya shahih.16

2.1 Dalil Qunut Nazilah

1. Banyak dalil yang menjelaskan disunnahkannya qunut Nazilah, sebagaimana beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang telah lalu. Dan untuk lebih jelasnya, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini: Dari Abu Hurairah beliau berkata:

"Sungguh aku akan melakukan shalat yang mirip dengan shalat Nabi,." Lalu Abu Hurairah membaca do'a qunut setelah mengucapkan sami'allohu liman hamidah pada rakaat terakhir dari shalat Zhuhur, Isya', dan Shubuh; beliau mendo'akan (keselamatan) buat kaum mu'minin dan melaknat orang-orang kafir.17
2. Hadits shahih yang lain tentang qunut Nazilah adalah:
Dari Ibnu Abbas beliau berkata: "Rasulullah pernah melakukan qunut selama sebulan penuh dalam shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya', dan Shubuh dalam setiap penghujung shalat setelah mengucapkan sami'allohu liman hamidah, pada rakaat yang terakhir, beliau mendo'akan kehancuran beberapa penduduk kampung bani Sulaim, dari (kabilah) Ri'l, Dzakwan, dan Ushayyah, sedangkan orang-orang yang di belakangnya mengaminkannya."18

(Di Antara Cara Qunut)

Imam Membaca Qunut, Makmum Mengaminkan
Adapun yang disunnahkan bagi makmum hanyalah mengucapkan amin atas do'a imamnya. Dan termasuk kesalahan yang dilakukan oleh para makmum menambah-nambahi ucapan selain mengaminkan do'a imam, seperti yang banyak mereka ucapkan, ketika imam membaca do'a qunut, mereka menjawabnya dengan ucapan amien ya Alloh, atau mereka mengucapkan subhanalloh, atau haq ya Alloh, atau asyhid! (saksikan!), dan sebagainya; hal ini didasari oleh hadits yang telah lalu diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan:

...dan orang-orang yang di belakangnya mengaminkannya.19
Begitu juga, tidak disyariatkan membalikkan kedua tangan ketika mendo'akan kehancuran musuh/orang kafir, kemudian mengembalikan/membalikkan kedua tangan kepada posisi semula (menengadah) ketika imam mendo'akan kembali kebaikan bagi kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orang yang kita saksikan di Masjidil Haram atau yang lainnya, atau sebagaimana yang mereka lakukan yaitu membalikkan kedua tangan tatkala imam berdo'a supaya diangkat bala' dan bahaya dari kaum muslimin.20

Mengangkat Tangan Ketika Qunut
Disyariatkan bagi imam dan makmum ketika membaca qunut Nazilah dan qunut Witir untuk mengangkat kedua tangannya. Hal ini didasari oleh hadits dan atsar dari para sahabat, di antaranya sebagaimana yang dikatakan oleh Tsabit dari Anas bin Malik beliau berkata:

Sungguh aku melihat Rasulullah di setiap shalat Shubuh beliau mengangkat kedua tangannya mendo'akan kehancuran mereka (omng-orang kafir). 21
Dan Imam Baihaqi juga menerangkan bahwa telah sah dari beberapa sahabat Nabi dalam do'a qunut mereka mengangkat tangannya, seperti Umar bin Khaththab dan lainnya, dan beliau nyatakan hadits dan atsar itu, semuanya shahih.22

Tidak Mengusap Wajah Setelah Qunut
Berkata al-Izz bin Abdus Salam:

"Tidaklah mengusap wajahnya setelah berdo'a kecuali orang yang bodoh."23
Perkataan beliau di atas didasari lantaran tidak adanya satu hadits pun yang shahih tentang mengusap wajah setelah berdo'a. Adapun hadits-hadits yang berkaitan dengannya semuanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena sangat lemahnya. Imam al-Baihaqi mengatakan:

"Tidak ada satu pun dari ulama salaf yang mengusap wajah setelah berdo'a."24
Imam Nawawi mengatakan:

"Tidak disunnahkan mengusap wajah setelah do'a."25
Syaikh al-Albani menyatakan bahwa mengusap wajah setelah berdo'a adalah bid'ah karena hal itu tidak dicontohkan oleh panutan kita.26

3 Qunut Witir
Qunut Witir adalah do'a di penghujung shalat (Witir) yang pernah diajarkan oleh Rasulullah kepada al-Hasan bin Ali, dilakukan sebelum rukuk27 atau sesudah rukuk28 pada rakaat terakhir dari shalat Witir. Adapun do'a yang dibaca:

Dari al-Hasan bin Ali beliau berkata Rasulullah mengajariku beberapa kalimat untuk aku ucapkan ketika qunut Witir (yang artinya):
"Wahai Alloh, berilah aku petunjuk seperti orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan seperti orang yang Engkau beri kesehatan, sayangilah aku seperti orang yang Engkau sayangi, berilah keberkahan pada apa yang Engkau berikan padaku, jauhkanlah aku dari kejahatan (makhluk) yang Engkau taqdirkan, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan hukuman dan tidak satu pun yang menghukum-Mu, sesungguhnya siapa yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak menjadi mulia orang yang Engkau musuhi, Maha Suci Engkau wahai Rabb kami yang Maha Tinggi."29

3.1 Do'a Setelah Shalat Witir
Disunnahkan bagi yang telah melaksanakan shalat Witir untuk mengucapkan do'a berikut ini:
Adalah Rasulullah melakukan shalat Witir tiga rakaat, dengan membaca pada rakaat pertama surat Sabbihisma Rabbikal A'la, pada rakaat kedua surat Qul ya ayyuhal kafirun, dan pada rakaat ketiga surat Qul huwa-Allohu Ahad, dan beliau membaca qunut Witir sebelum rukuk; kemudian tatkala selesai beliau membaca Subhanal Malikil Quddus (Maha Suci Alloh Sang Maharaja yang Maha Suci) diulang tiga kali, beliau memanjangkan (bacaan itu) pada akhirnya."30

4 Kesimpulan

1. Kebiasaan yang berjalan di masyarakat dengan qunut Shubuh secara terus-rnenerus disebabkan ketidaktahuan dan didasari dengan taqlid/ikut-ikutan saja.
2. Hadits-hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus (yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik) adalah sangat lemah sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, dan justru hadits-hadits yang sah dari Anas mengingkari adanya qunut Shubuh secara terus-menerus kecuali qunut Nazilah.
3. Qunut Shubuh dengan bacaan "Allohumahdinii fiiman hadait... dst.", adalah salah kaprah karena do'a ini diajarkan oleh Nabi kepada al-Hasan bin Ali untuk do'a qunut Witir bukan qunut Shubuh.
4. Telah sah dari Nabi dan para sahabatnya, mereka melakukan qunut Nazilah setelah rukuk dalam rakaat terakhir di setiap shalat fardhu.
5. Apabila imam membaca do'a qunut, disyariatkan bagi makmum mengucapkan "amin".
6. Ketika membaca do'a qunut (baik Nazilah atau Witir), imam dan makmum mengangkat kedua tangannya.
7. Tidak disyariatkan mengusap wajah setelah do'a qunut.
8. Disunnahkan do'a qunut dalam shalat Witir baik sebelum atau sesudah rukuk dengan bacaan: "Allohumahdinii fiiman hadait... dst."
Wallohu A'lam bish-shawab.

________________________________________
Catatan Kaki
Catatan Kaki
...2
Lihat Mizanul I'tidal 3/320, Tahdzibut Tahdzib 12/57, dan Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Maudhuah no. 1328.
...3
Lihat Zadul Ma'ad 1/276.
...4
HR. Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 2/201, dan Daruquthni dalam as-Sunan 2/166.
...5
Lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah 3/385; kemudian Syaikh al-Albani berkomentar tentang Ismail al-Makki bahwa dia seorang yang haditsnya lemah.
...6
Lihat footnote no. 4.
...7
HR. Tirmidzi 1292, Ibnu Majah 1/393, Nasa'i 3/203-204; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil hadits no. 435.
...8
Lihat Subulus Salam 1/387 dalam penjelasan hadits Sa'd di atas.
...9
Lihat Tuhfatul Ahwadzi 2/434
...10
Taudhih al-Ahkam 2/83.
...11
Lihat al-Qaul al-Mubin fi Akhtha' al-Mushallin hal. 130)
...12
HR. Muslim 1/470, Ahmad dalam al-Musnad'4/2~/"5, Tirmidzi dalam al-Jami' 401, Abu Dawud 1441, dan lainnya,
...13
HR. Muslim 304, Ahmad dalam al-Musnad 3/191, Abu Dawud 1445, Nasai 2/203, dan lainnya.
...14
HR. Bukhari 1002, Muslim 297.
...15
HR. Bukhari 804, Muslim 294.


...16
Ta'liq Syaikh Ahmad Syakir dalam Jami' at-Tirmidzi 2/252.
...17
HR. Bukhari 1/204, Muslim 2/135, Abu Dawud 1440, Nasai 1/164, Daruquthni 178, Baihaqi 2/206, Ahmad 2/255.
...18
HR. Abu Dawud 1443, Baihaqi 2/200, Ahmad 1/301, dan lainnya; dihasankan al-Albani dalam Misykat al-Mashabih no. 1290.
...19
Lihat footnote no. 10.
...20
Lihat al-Qaulal-Mubin fi Ahtha'al-Mushallin hal. 132.
...21
HR. Baihaqi 2/211.
...22
Lihat as-Sunan al-Kubra 2/212.
...23
Lihat al-Qaul al-Mubin fi Akhtha' al-Mushallin hal. 133.
...24
as-Sunan al-Kubra 2/212.
...25
Shahih al-Adzkar hal. 960.
...26
Irwa'al-Ghalil 2/172.
...27
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka'b bahwa Nabi berqunut sebelum rukuk (dishahihkan oleh al-Albani dalam Sunan Abi Dawud 2/135).
...28
Sebagaimana hadits-hadits qunut setelah rukuk secara umum yang telah lalu (lihat al-Mulakhashat al-Fiqhiyyah hal. 51). Dan sebagaimana yang dikatakan oleh al-Iraqi: "Telah datang (dari Nabi) hadits-hadits qunut Witir dari berbagai jalan perawi yang menunjukkan disyariatkannya qunut Witir. Sebagian hadits itu hasan, sebagian yang lain shahih, dan telah sah sunnah Nabi tentang qunut (Witir) baik sebelum atau sesudah rukuk, sedangkan kebanyakan sahabat, tabi'in, para ahli fiqh seperti Imam Ahmad dan selainnya memilih qunut (Witir) dilakukan sesudah rukuk." (Taudhihul Ahkam 2/86)
...29
HR. Abu Dawud 1425-1426, Tirmidzi 464, dan Nasai 3/248; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil 2/172.
...30
HR. Nasa'i 3/235, dan dishahihkan oleh al Albani dalam Sunan Nasa'i 1699.
________________________________________

Disalin dari Majalah Al Furqan Edisi 10 Tahun V hal. 37-43.

AKAN MUNCUL DAI-DAI YANG MENYERU KE NERAKA JAHANNAM

Oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyalahu ‘anhu beliau berkata : “Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik tapi aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal yang buruk agar jangan sampai menimpaku”
Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam,-pent) ini, apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan ?”
Beliau berkata : “Ya”
Aku bertanya : “Dan apakah setelah kejelekan ini akan datang kebaikan?”
Beliau menjawab : “Ya, tetapi didalamnya ada asap”.
Aku bertanya : “Apa asapnya itu ?”
Beliau menjawab : “Suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku, dan menunjukkan (manusia) kepada selain petunjukku. Engkau akan mengenal mereka dan engkau akan memungkirinya”
Aku bertanya : “Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan lagi ?”
Beliau menjawab :”Ya, (akan muncul) para dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam. Barangsiapa yang menerima seruan mereka, maka merekapun akan menjerumuskan ke dalam neraka”
Aku bertanya : “Ya Rasulullah, sebutkan cirri-ciri mereka kepada kami ?”
Beliau menjawab : “Mereka dari kulit-kulit/golongan kita, dan berbicara dengan bahasa kita”
Aku bertanya : “Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan seperti ini”
Beliau menjawab : “Pegang erat-erat jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”
Aku bertanya : “Bagaimana jika tidak imam dan jama’ah kaum muslimin?”
Beliau menjawab :”Tinggalkan semua kelompok-kelompok sempalan itu, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini memiliki banyak jalan, diantaranya :

[1]. Dari jalan Walid bin Muslim (dia berkata) : Menceritakan kepada kami Ibnu Jabir (dia berkata) : Menceritakan kepada kami Bisr bin Ubeidillah Al-Hadromy hanya dia pernah mendengar Abu Idris Al-Khaoulani dari Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu ‘anhu …….[HR Bukhari 6/615-616 dan 13/35 beserta Fathul Baari. Muslim 12/235-236 beserta Syarh Nawawi. Baghowi dalam Syarhus Sunnah 14/14. Dan Ibnu Majah 2979]

[2]. Dari jalan Waki’ dari Sufyan dari ‘Atho’ bin Saib dari Abi Al-Bukhari dia berkata : Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu berkata ….. [HR Ahmad dalam musnad 5/399]

[3]. Dari jalan Abi Mughiroh (dia berkata) menceritakan kepada kami Assafar bin Nusair Al-Azdi dan selainnya dari Hudzaifah bin Al-Yaman, beliau berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu dalam keburukan lalu Allah menghilangkannya dan mendatangkan kebaikan melalui anda. Apakah setelah kebaikan ini akan datang kejelekan?”. Beliau berkata : “Ya”. Hudzaifah bertanya lagi : “Apa kejelekan tersebut?” Beliau menjawab : “Akan muncul banyak fitnah seperti malam yang gelap gulita, sebagaimana mengikuti yang lainnya dan akan datang kepada kalian hal-hal yang samar-samar seperti wajah-wajah sapi yang kalian tak mengetahuinya” [HR Ahmad 5/391]

SYARH HADITS
[A]. Mengenal Jalan Orang-Orang Yang Tersesat Merupakan Kewajiban Dalam Syariat.
Ketahuilah -semoga Allah memberkahi anda- sesungguhnya metode Ar-Rabbani (Islam) yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menampilkan generasi pertama yaitu shabat dan para tabi’in (sesungguhnya bertujuan) untuk mejelaskan jalan kebenaran dan agar diikuti.

Allah berfirman.

“Artinya : Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka kami palingkan dia kemana dia berpaling dan kami akan memasukkannya kedalam neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” [An-Nisa : 116]

Akan tetapi (metode Islam ini) tidak cukup hanya mejelaskan jalan kebenaran saja bahkan menyingkap kebatilan dan mengungkap kepalsuannya agar jelas dan terang jalan orang-orang yang tersesat (lalu dijauhi dan ditinggalkan,-pent).

Allah ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an, supaya jelas jalan orang-orang yang benar dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang tersesat” [Al-An’am : 55]

Seorang penyair berkata.

“Aku mengenal keburukan bukan untuk keburukan akan tetapi untuk menjauhinya”

“Dan barangsiapa yang tidak mengenal kebaikan dari keburukan dia akan terjerumus kedalam keburukan itu”.

[B]. Islam Terancam Dari Dalam
Sesungguhnya musuh-musuh Allah terus mengintai Islam hingga ketika mereka telah melihat penyakit whan (cinta dunia dan takut mati) telah menjalar dalam tubuh kaum muslimin dan penyakit-penyakit yang lain sudah menyebar mereka langsung menyerang dan menyumbat nafas kaum muslimin.

Sesungguhnya racun-racun berbisa yang membinasakan dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin serta melemahkan gerak mereka bukanlah pedang-pedang orang-orang kafir yang berkumpul untuk membuat makar terhadap Islam. Akan tetapi kuman-kuman yang busuk yang menyelinap didalam tubuh kaum muslimin yang lambat tapi pasti (itulah yang menyebabkan kebinasaan). Itulah asap yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudzaifah diatas : “suatu kaum yang membuat ajaran bukan dari ajaranku dan memberikan petunjuk bukan dari petunjukku …..” Didalam ucapan beliau ini ada hal-hal penting diantaranya.

[1]. Sesungguhnya asap itu merupakan penyimpangan yang selalu membuat kabur ajaran Islam (Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang terang benderang malamnya bagaikan siangnya.

[2]. Yang nampak pada saat terjadinya hal ini adalah kebaikan akan tetapi dalamnya terdapat hal-hal yang membinasakan. Bukanlah dalam riwayat Muslim Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Akan muncul manusia-manusia yang berhati setan”.

[3]. Asap ini terus tumbuh dan menguasai hingga kejelekan itu merajalela serta merupakan awal munculnya dai-dai penyesat dan kelompok-kelompok sempalan.

[4]. Sesungguhnya yang meniup asap tersebut adalah para dai-dai penyesat. Dan ini menunjukkan bahwa rencana busuk untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin telah mengakar kuat dalam sejarah Islam.

[5]. Sesungguhnya gembong-gembong kesesatan selain giat dalam menyesatkan. Akan tetapi (sebagian) pemegang kebenaran lalai dan tertidur hingga asap tersebut menguasai dan merajalela serta menutupi kebenaran. Dari sini kita ketahui bahwa asap yang menyelimuti kebenaran dan mengkotori kejernihannya adalah bid’ah-bid’ah yang ditebarkan oleh Mu’tazilah, Sufiyah, Jahmiyah, Khowarij, Asy’ariyah, Murji’ah dan Syi’ah Rofidhoh sejak berabad-abd lamanya.

Oleh karena inilah umat Islam mejadi terbelakang dan menjadi santapan bagi setiap musuh serta menyebarnya kebatilan. Dan dengan sebab inilah setiap munafik berbicara dengan mengatas namakan Islam. Dari sini kita mengetahui bahwa bahaya bid’ah lebih besar daripada musuh-musuh yang lainnya (orang-orang kafir), karena bid’ah merusak hati dan badan tapi musuh-musuh tersebut hanya merusak badan. Para salaf telah bersepakat akan kewajiban memerangi ahli bid’ah dan menghajr (memboikot) mereka. Imam Dzahabi mengatakan : “Para salaf sering mentahdzir ahli bid’ah, mereka mengatakan : Sesungguhnya hati-hati ini lemah sedangkan syubhat (dari ahli bid’ah itu) cepat mencengkram”.

[C]. Hati-Hati Antek-Antek Yahudi !!!
Sesungguhnya para gembong-gembong kekafiran telah memproduksi antek-anteknya dalam negeri kaum muslimin dua cara.

[1]. Pengiriman para pelajar ke negeri kafir (seperti di Cihicago Univerity,-pent) yang disanalah para pelajar kaum muslimin di cuci otak-otak mereka lalu jika mereka pulang mereka sebarkan racun-racun itu kepada kaum muslimin.

[2. Dengan menyelinapnya para orientalis dibawah simbol-simbol penelitian ilmiah. Sesunggunya para orientalis-orientalis itu merupakan antek-antek/tangan-tangan Yahudi dan Nashrani.

Di dalam hadits Hudzaifah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka, beliau bersabda :

“Akan muncul dai-dai yang menyeru ke neraka jahannam, barangsiapa yang menerima seruan mereka maka mereka akan menjerumuskannya ke dalam jahannam”. Hudzaifah bertanya : “Wahai Rasululah sebutkan cirri mereka ?” Rasulullah menjawab : “Mereka dari golongan kita dan berbicara dengan lisan-lisan kita”.

[a]. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Baari 13/36 : “Yaitu dari kaum kita dan yang berbicara dengan bahasa kita serta dari agama kita. Didalamnya ada isyarat bahwa mereka itu dari Arab”.

[b]. Ad-Dawudi berkata : “Mereka itu dari keturunan Adam”.

[c]. Al-Qoobisy berkata : Maknanya, secara dhohir mereka itu dari agama kita tapi secara batin mereka menyelisihi (agama kita)”.

Mereka menampakkan kesungguhan dalam memberi solusi, dan maslahat bagi umat. Tapi mereka menipu umat dengan gaya bahasa mereka, dan hati-hati mereka menginginkan untuk menjalankan misi-misi tuan-tuan mereka dari kalangan Kristen dan Yahudi. Allah berfirman.

“Artinya : Tidak akan ridho orang-orang Yahudi dan Narani hingga kalian mengikuti agama mereka” [Al-Baqarah : 120]

Diantara mereka adalah Thoha Husein (dari Mesir, pent) yang dijuluki oleh tuan-tuannya sebagai pujangga Arab. Orang ini mengatakan bahwa syair orang-orang jahiliyah itu lebih baik kesasteraannya daripada Al-Qur’an. Inilah pemikiran Marjilius seorang orientalis Yahudi yang diadopsi oleh Thoha Husein dan dipropagandakannya. Contoh-contoh seperti ini banyak sekali, mereka turun temurun dari waktu ke waktu di setiap tempat.
Halaman ke-2 dari 2


[D]. Siapa Jama’ah Kaum Muslimin ?
Setelah melihat kenyataan yang pahit dan getir ini, mulailah sebagian kaum muslimin bangkit, setiap kelompok dari kaum muslimin melihat realita ini dari kaca mata tersendiri, kelompok yang lain juga demikian. Oleh karena itulah bisa dikatakan bahwa kelompok-kelompok yang ada sekarang ini yang katanya berjuang atau berdakwah, mereka itu saling berselisih dalam metode dan cara berdakwah. Dan perselisihan yang paling parah yang menghalangi persatuan mereka adalah dua hal :

[1]. Peselisihan mereka dalam pengambilan sumber ilmu dan pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah.
[2]. Ketidakmengertian mereka tentang diri mereka sendiri, sehingga pada saat ini kita sering menyaksikan bahwa hizbiyyah dan fanatik golongan ini masih menyumbat akal pikiran para dai-dai yang turun di medan dakwah. Mereka membanggakan diri mereka sendiri dan meremehkan yang lainnya. Sebagiannya menganggap bahwa kelompoknya itulah yang dinamakan jama’ah kaum muslimin dan pendirinya adalah imam kaum muslimin yang wajib di bai’at atau disumpah setia. Dan sebagiannya lagi mengkafirkan kaum muslimin. Sebenarnya mereka hanya jama’ah atau kelompok-kleompok kaum muslimin, karena kaum muslimin sekarang tidak memiliki jama’ah ataupun imam/pemimpin.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa jama’ah kaum muslimin adalah (Negara Islam) yang bersatu atau berkumpul didalamnya seluruh kaum muslimin. Mereka hanya punya satu imam/pemimpin yang menerapkan hukum-hukum Allah dan wajib untuk di taati serta diba’iat.

[E] Tinggalkan Kelompok-Kelompok Sempalan Itu
Hadits Hudzaifah diatas memerintahkan kepada kita untuk meninggalkan semua kelompok-kelompok sesat ketika terjadi fitnah dan kejelekan serta disaat tidak ada jama’ah kaum musilimin dan imam mereka.

Kelompok-kelompok sempalan ini yang menyeru manusia kepada kesesatan, bersatu diatas kemungkaran dan diatas hawa nafsu atau berkumpul diatas pemikiran-pemikiran kufur seperti sosialisme, komunisme, kapitalisme, demokrasi atau bersatu berdasarkan fanatik golongan dan lain sebagainya.

Inilah kelompok-kelompok sesat yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Hudziafah untuk ditinggalkan dan dijauhi karena menjerumuskan manusia ke dalam neraka jahanam dengan sebab ajaran mereka yang bukan dari Islam.

Adapun kelompok yang menyeru kepada Islam (yang benar), memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar maka inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti dan ditolong. Allah ta’ala berfirman.

“Artinya : Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung” [Ali-Imran : 104]

[E]. Jalan Keluar Dari Problematika Umat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Hudzaifah untuk meninggalkan semua kelompok sempalan yang menyeru ke neraka jahannam meskipun sampai menggigit akar pohon hingga ajal menjemput. Adapun penjelasannya, maka sebagai berikut :

[1]. Ini adalah perintah untuk berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak sekali, maka berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama karena itu kesesatan. Dan barangsiapa diantara kalian yang mendapatkan hal ini maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa ‘ar-rasyidin, gigitlah erat-erat dengan gigi geraham kalian”. [HR Abu Dawud (4607). Tirmidzi (2676) dan Ibnu Majah (440) dan selain mereka]

Didalam hadits Hudzaifah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menggigit akar pohon ketika terjadi perpecahan sambil menjauhi semua kelompok sesat. Dan didalam hadits Al-Irbadh beliau memerintahkan untuk berpegang teguh dengan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih radhiyallahu anhum, ketika munculnya kelompok-kelomok sesat dan ketika tidak adanya jama’ah kaum muslimin serta imam mereka.

[2]. Sesungguhnya perintah untuk menggigit akar pohon dalam hadits Hudzaifah maknanya adalah istiqomah atau tetap dalam sabar dalam memegang kebenaran dan dalam meninggalkan semua kelompok sesat yang menyelisihi kebenaran. Atau maknanya bahwa pohon Islam akan diguncang dengan angin kencang hingga merontokkan semua ranting dan cabangnya, tidak ada yang tersisa melainkan akarnya yang masih tegar. Karena itulah wajib bagi setiap muslim untuk memegang erat akar tersebut dan mengorbankan semua yang berharga dalam dirinya karena akar tersebut akan tumbuh dan tegar kembali.

[3]. Ketika itu juga wajib bagi setiap muslim untuk menolong dan membantu kelompok (yang berpegang teguh dengan sunnah tersebut, -pent) dari setiap fitnah yang mengancam. Karena kelompok ini yang selalu tampak diatas kebenaran hingga akhirnya mereka membunuh Dajjal.

[Ringkasan darp kitab Al-Qaulul Mubin Fii Jama’atil Muslimin]

[Disalin dari majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H/ April 2005M, hal. 22-26. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad. Jl. Sultan Iskandar Muda No. 45 Surabaya]

Adab-Adab Makan Seorang Muslim

Adab-Adab Makan Seorang Muslim

Anjuran makan dari pinggir piring
Diriwayatkan dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda, “Jika kalian makan, maka janganlah makan dari bagian tengah piring, akan tetapi hendaknya makan dari pinggir piring. Karena keberkahan makanan itu turun dibagian tengah makanan.” (HR Abu Dawud no. 3772, Ahmad, 2435, Ibnu Majah, 3277 dan Tirmidzi, 1805. Imam Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”)
Hikmah larangan makan dari bagian tengah piring adalah, agar kita mendapatkan keberkahan yang berada di tengah-tengah makanan. Jika sedang makan bersama (baca: kembulan -Jawa, sepiring berdua atau lebih) terdapat hikmah yang lain, yaitu orang yang mengambil makanan berada di tengah, di nilai orang yang tidak sopan dan memilih yang enak-enak saja untuk dirinya sendiri.

Cuci tangan sebelum makan dan sesudah makan
Dalam hal ini, tidak ditemukan satu pun hadits shahih yang membicarakan tentang cuci tangan sebelum makan, namun hanya berstatus hasan. Imam Baihaqi mengatakan, “Hadits tentang cuci tangan sesudah makan adalah hadits yang berstatus hasan, tidak terdapat hadits yang shahih tentang cuci tangan sebelum makan.” (Adabus Syar’iyyah, 3/212)
Walau demikian, cuci tangan sebelum makan tetap dianjurkan, untuk menghilangkan kotoran atau hal-hal yang berbahaya bagi tubuh yang melekat di tangan kita.
Tentang cuci tangan sebelum makan, Imam Ahmad memiliki dua pendapat: pertama menyatakan makruh. Sedangkan yang kedua menyatakan dianjurkan.
Imam Malik lebih merinci hal ini, beliau berpendapat, dianjurkan cuci tangan sebelum makan jika terdapat kotoran di tangan.
Ibnu Muflih mengisyaratkan, bahwa cuci tangan sebelum makan itu tetap dianjurkan, dan ini merupakan pendapat beberapa ulama. Dalam hal ini ada kelapangan. Artinya jika dirasa perlu cuci tangan, jika dirasa tidak perlu tidak mengapa.
Mengenai cuci tangan sesudah makan, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang tidur dalam keadaan tangannya masih bau daging kambing dan belum dicuci, lalu terjadi sesuatu, maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, no. 7515, Abu Dawud, 3852 dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan belikat kambing. Sesudah selesai makan beliau berkumur-kumur, mencuci dua tangannya baru melaksanakan shalat. (HR. Ahmad, 27486 dan Ibn Majah 493, hadits ini dishahihkan oleh al-Albani)
Abban bin Utsman bercerita, bahwa Utsman bin Affan pernah makan roti yang bercampur dengan daging, setelah selesai makan beliau berkumur-kumur dan mencuci kedua tangan beliau. Lalu dua tangan tersebut beliau usapkan ke wajahnya. Setelah itu beliau melaksanakan shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. Malik, no. 53)

Keadaan junub hendak makan
Jika kita dalam kondisi junub dan hendak makan, maka dianjurkan berwudhu terlebih dahulu. Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub lalu hendak makan atau tidur, maka beliau berwudhu terlebih dahulu, seperti berwudhu untuk shalat.” (HR Bukhari, no. 286 dan Muslim, no. 305)
Nafi’ mengatakan, bahwa Ibnu Umar jika ingin tidur atau ingin makan dalam kondisi junub maka beliau membasuh wajah dan kedua tangannya sampai siku dan mengusap kepala. (baca: berwudhu) sesudah itu beliau baru makan atau tidur.” (HR Malik, no. 111)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun ulama yang menganjurkan berwudhu sebelum makan kecuali dalam keadaan junub.” (Adab Syar’iyyah 3/214)
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, bahwa Rasulullah bila hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu terlebih dahulu, dan apabila beliau hendak makan maka beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” (HR Nasa’i no. 256, Ahmad, 24353, dan lain-lain)
Dalam Silsilah ash-Shahihah, 1/674, syaikh al-Albani berdalil dengan hadits di atas untuk menganjurkan mencuci tangan sebelum makan secara mutlak baik dalam kondisi junub ataupun tidak. Tetapi pendapat beliau itu kurang tepat, mengingat beberapa alasan: pertama, hadits di atas berisi penjelasan tentang makan minum dan tidur Nabi pada saat beliau dalam keadaan junub. Kedua, dalam sebagian riwayat digunakan kata-kata ‘berwudhu’ sedangkan dalam riwayat yang lain disebutkan mencuci dua tangan sebagaimana dalam hadits di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua perbuatan di atas boleh dilakukan.
As-Sindi mengatakan, “Terkadang Nabi cuma membasuh kedua tangannya untuk menunjukkan bolehnya hal tersebut dan terkadang Nabi berwudhu agar lebih sempurna.” (Sunan Nasa’i dengan hasyiyah as-Sindi, 1/138 –139)
Ketiga, para Ulama ahli hadits, seperti Imam Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyyah, Nasai dan lain-lain menyampaikan hadits ini, akan tetapi mereka tidak menganjurkan cuci tangan sebelum makan secara mutlak, sebagaimana yang dilakukan oleh syekh al-Albani. Hal ini menunjukkan, bahwa menurut para ulama-ulama di atas hadits tadi hanya berlaku pada saat dalam kondisi junub.
Intinya, anjuran berwudhu dan cuci tangan sebelum makan yang terdapat dalam hadits di atas hanya dianjurkan saat dalam kondisi junub.

Tidak duduk sambil bersandar
Abu Juhaifah mengatakan, bahwa dia berada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berkata kepada seseorang yang berada di dekat beliau, “Aku tidak makan dalam keadaan bersandar.” (HR Bukhari)
Yang dimaksud duduk sambil bersandar dalam hadits tersebut adalah segala bentuk duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, dan tidak terbatas dengan duduk tertentu. Makan sambil bersandar dimakruhkan dikarenakan hal tersebut merupakan duduknya orang yang hendak makan dengan lahap.
Ibnu Hajar mengatakan, “Jika sudah disadari bahwasanya makan sambil bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka posisi duduk yang dianjurkan ketika makan adalah dengan menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri.” (Fathul Baari, 9/452)
Tentang duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hasan bin al-Muqri dalam kitab Syama’il. Dalam riwayat itu dinyatakan, bahwa duduk Nabi menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanan. Tetapi sanad hadits ini didha’ifkan oleh al-’Iraqi dalam takhrij Ihya’ Ulumuddin, 2/6.
Di antara bentuk duduk bersandar adalah duduk bersandar dengan tangan kiri yang diletakkan di lantai. Ibnu ‘Addi meriwayatkan sebuah hadits yang mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersandar dengan tangan kiri pada saat makan. Namun sanad hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452. Meskipun demikian cara duduk seperti itu tetap dimakruhkan, sebagaimana perkataan Imam Malik. Beliau mengatakan, bahwa duduk semacam itu termasuk duduk bersandar.

Tidak tengkurap
Termasuk gaya makan yang terlarang adalah makan sambil tengkurap. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis makanan: yaitu duduk dalam jamuan makan yang menyuguhkan minum-minuman keras dan makan sambil tengkurap.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.
Dalam Zaadul Maad, 4/221, Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki. Dan diriwayatkan pula, bahwa Nabi makan sambil berlutut dan bagian dalam telapak kaki kiri diletakkan di atas punggung telapak kaki kanan. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk tawadhu’ kepada Allah ta’ala.
Cara duduk pertama yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan kurma sambil duduk dengan meletakkan pantat di atas lantai dan menegakkan dua betis kaki.” (HR Muslim)
Dan cara duduk kedua, diriwayatkan dari Abdullah bin Busrin, “Aku memberi hadiah daging kambing kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memakannya sambil duduk berlutut. Ada seorang Arab Badui mengatakan, “Mengapa engkau duduk dengan gaya seperti itu? Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikanku seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikanku orang yang sombong dan suka menentang.” (HR Ibnu Majah, sanad hadits ini dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, 9/452).

"40 Keajaiban Ramadhan"

Selama Ramadhan, Imam Syafi’i menghatamkan Al-Quran enam puluh kali, dua kali dalam semalam di dalam shalat. Inilah 'rahasia 40 Keajaiban Ramadhan' [bagian pertama]
Selama Ramadhan, Allah memerintahkan seluruh penghuni surga berhias. Rasulullah Saw. bersabda:”…Adapun yang keempat, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan surga-Nya, Ia berfirman: “Bersiap-siaplah, dan hiasilah dirimu untuk para hamba-Ku, sehingga mereka bisa segera beristirahat dari kelelahan (hidup di) dunia menuju negeri-Ku dan kemulyaan-Ku…” [HR. Baihaqi].
Itulah sisi menarik keajaiban bulan Ramadhan yang tak banyak orang tahu.
Mengurai 40 Keajaiban bulan Ramadhan. Tulisan ini akan disarikan empat seri.

1. Ramadhan jalan menuju ketaqwaan
Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas kaum sebelum kalian, agar kalian bertaqwa”. (Al Baqarah: 183).
Ayat di atas menerangkan bahwa puasa adalah sebab yang bisa mengantarkan pelakunya menuju ketaqwaan, karena puasa mampu meredam syahwat. Ini sesuai dengan salah satu penafsiran yang disebutkan Imam Al Qurthubi, yang berpatokan kepada hadits riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan bahwa puasa adalah perisai.

2. Ramadhan bulan mujahadah
Para ulama’ salaf adalah suri tauladan bagi umat, mujahadah mereka dalam mengisi bulan Ramadhan amat perlu dicontoh. Seperti Imam Asyafi’i, dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al-Quran dua kali dalam semalam, dan iti dikerjakan di dalam shalat, sehingga dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al-Quran enam puluh kali dalam sebulan. Imam Abu Hanifah juga menghatamkan Al-Quran dua kali dalam sehari selama Ramadhan.

3. Puasa Ramadhan menumbuhkan sifat amanah
Wahbah Zuhaili dalam bukunya Al Fiqh Al Islami berpendapat bahwa puasa mengajarkan rasa amanat dan muraqabah di hadapan Allah Ta’ala, baik dengan amalan yang nampak maupun yang tersembunyi. Maka tidak ada yang mengawasi seseorang yang berpuasa agar menghindari hal-hal yang dilarang dalam berpuasa kecuali Allah Ta’ala

4. Puasa Ramadhan melatih kedisiplinan
Puasa juga melatih kedisplinan, Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa seorang yang berpuasa harus makan dan minum dalam waktu yang terbatas. Bahkan dalam berbuka puasapun harus disegerakan.

5. Puasa Ramadhan menumbuhkan rasa solidaritas sesama muslim
Wahbah Zuhali juga menjelaskan bahwa puasa Ramadhan menumbuhkan rasa solidaritas di antara sesama muslim. Pada bulan ini semua umat Islam, dari timur hingga barat diwajibkan untuk menjalankan puasa. Mereka berpuasa dan berbuka dalam waktu yang sama, dikarenaka mereka memiliki Rabb yang satu.
Seorang yang merasa lapar dan dahaga akhirnya juga bisa ikut merasakan kesengsaraan saudara-saudaranya yang kekurangan atau tertimpa bencana. Sehingga tumbuh perasaan kasih sayang terhadap umat Islam yang lain.

6. Puasa Ramadhan melatih kesabaran
Bulan Ramadhan adalah bulan puasa di mana pada siang hari kita diperintahkan meninggalkan makanan yang asalnya halal, terlebih lagi yang haram. Begitu pula di saat ada seseorang mengganggu kita. Rasulullah Saw. bersabda: “Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata 'Sesungguhnya aku sedang puasa." (HR. Bukhari)

7. Puasa Ramadhan menyehatkan
Rasulullah bersabda: ”Berpuasalah, maka kamu akan sehat” (HR. Ibnu Sunni), ada yang menyatakan bahwa hadits ini dhoif, akan tetapi ada pula yang menyatakan bahwa derajat hadits ini sampai dengan tingkat hasan (lihat, Fiqh Al Islami wa Adilatuh, hal 1619).
Tapi makna matan hadist bisa tetap diterima, karena puasa memang menyehatkan. Al Harits bin Kaldah, tabib Arab yang pernah mengabdi kepada Rasulullah Saw. juga pernah menyatakan:”Lambung adalah tempat tinggal penyakit dan sedikit makanan adalah obatnya”.

8. Lailatul Qadar adalah hadiah dari Allah untuk umat.
Ini Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatha’, dia telah mendengar dari seorang ahlul ilmi tsiqah yang telah mengatakan: “Sesungguhnya telah diperlihatkan usia-usia umat sebelumnya kepada Rasulullah Saw., atau apa yang telah Allah kehendaki dari hal itu, dan sepertinya usia umat beliau tidak mampu menyamai amalan yang telah dicapai oleh umat-umat sebelumnya, maka Allah memberi beliau Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan.” (HR. Malik).

9. Ramadhan bulan ampunan Bulan.
Rasulullah Saw. bersabda: “Dan siapa yang berpuasa Ramadhan dengan didasari keimanan dan pengharapan ridha Allah, diampunkan untuknya dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari)

10. Siapa yang dilihat Allah, maka ia terbebas dari adzab-Nya
Dari Jabir bin Abdullah ra. Rasulullah Saw. bersabda: ”Pada bulan Ramadhan umatku dianugerahi lima perkara yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumku. Yang pertama, sesungguhnya jika Allah melihat mereka di awal malam dari bulan Ramadhan, dan barang siapa yang telah dilihat Allah maka Ia tidak akan mengadzabnya selamanya…” (HR. Baihaqi). [dikutip dari Majalah Hidayatullah September 2007/bersambung..]

Sabtu, 20 Maret 2010

Bagaimana Saya Menebus Dosa?

Tanya: Assalamualaikum Ustad, kurang lebih 2 bln lalu saya baru sakit yang menurut dokter tak ada penyakit dalam tubuh saya, sejak saat itu saya baru sadar saya begitu banyak dosa dan mungkin itu adalah cara ALLAH SWT mengingatkan saya bahwa saya harus taubat. dan Alhamdulillah dengan dzikir tiap sholat penyakit itu mulai berangsur sembuh. ALLAH SWT begitu sayang dan memberi kesempatan untuk bertaubat. Ustad yang saya mau tanyakan bagaimana saya menebus dosa-dosa saya yang lalu? (Anna)


Jawab:
Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah yang telah memberikan hidayah kepada kita semua.Demikianlah Allah memberikan cobaan untuk mengingatkan hambaNya, dan berbahagialah orang-orang yang ingat. Diantara penebus dosa adalah taubat nasuha. Para ulama menyebutkan bahwa taubat nasuha memiliki 4 syarat:
1. Menyesali apa yang telah berlalu
2. Meninggalkan perbuatan tersebut
3. Berniat untuk tidak mengulanginya di masa yang akan datang
4. Mengembalikan hak orang lain kalau dosa tersebut berkaitan dengan hak orang (seperti mencuri dll)
Diantara penebus dosa tersebut adalah tauhid, karena Allah akan mengampuni dosa-dosa kita selama kita tidak berbuat syirik kepadaNya. Gantilah dosa-dosa yang kita lakukan dengan amal-amal kebaikan yang sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kita jauhi perbuatan bid'ah.
Hendaknya mencari ustadz dan teman-teman yang shalih yang bisa menasehati kita dan membimbing kita kepada jalan istiqamah, dan menjauhi teman-teman yang mengingatkan dan mengajak kita kepada dosa kembali.
Catatan: Dzikir setelah shalat merupakan amalan yang disyari'atkan namun jangan diyakini bahwa kita sembuh sebab mengamalkan dzikir setelah shalat karena yang demikian membutuhkan dalil.
Wallahu a'lam.

Bagaimana Memperbaiki Ekonomi Rumah Tangga?

Tanya: Assalamualaikum.Saya sudah berkeluarga dan sekarang adalah perkawinan ke2,yg 1 dulu digugat cerai karena faktor ekonomi.dan sekarang kehidupan ekonomi saya juga tidak berubah.sebelum pernikahan ke2,saya coba nanya ke ustadz tentang kehidupan kami,dari ustadz tersebut dengan perhitungan nama kami yang disatukan,menunjukan kehidupan ekonomi kami bakal berat.dan memang sekarang kami rasakan hal itu.Pertanyaan saya: Adakah doa/cara untuk kami memperbaiki kehidupan kami? Sebagai bahan pertimbangan berikut nama kami: Fajar Basuki bin Sumari, Nurjanah bintu M. Usman. Mohon penjelasannya.terimakasih.Wassalamu'alaikum (Fajar Basuki)


Jawab: Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu. Sebelum saya menjawab pertanyaan antum, perlu antum ketahui bahwa apa yang dilakukan oleh "ustadz" tadi adalah tidak dibenarkan di dalam agama islam, karena itu termasuk meramal yang di dalamnya ada pengakuan ilmu ghaib yang merupakan kekhususan Allah. Dan ini termasuk dalam kategori syirik dalam rububiyyah Allah. Allah ta'ala berfirman:
(عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً) (الجـن:26) (إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً) (الجـن:27)
Dia adalah Rabb Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan agar kita jangan mendatangi tukang ramal dan membenarkan ucapannya dengan sabdanya:
من أتى عرافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة
"Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal kemudian menanyakan sesuatu maka tidak terima shalatnya selama 40 malam" (HR. Muslim)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
من أتى حائضا أو امرأة في دبرها أو كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد
"Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh atau menyetubuhi dari duburnya atau mendatangi dukun dan membenarkannya maka dia telah mengingkari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad " (HR. Ashhabussunan, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Allah ta'ala Dialah yang telah mencipta sebab dan musabbab, oleh karena itu seorang muslim tidak boleh mengatakan sesuatu sebagai sebab dari sesuatu kecuali atas dasar dalil atau dari pengalaman yang jelas sebabnya.
(قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْأِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ) (لأعراف:33) Katakanlah:"Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui"". (QS. 7:33)
Luas dan sempitnya rezeki adalah hikmah dan cobaan dari Allah, bukan disebabkan oleh perhitungan nama yang disatukan.
Oleh karena itu antum harus buang jauh-jauh ramalan "ustadz" tadi, dan seandainya apa yang diramalkan itu terjadi maka sebenarnya itu bukan dari ramalan dia, akan tetapi itu adalah kabar yang dibawa syetan yang dia curi dari langit yang sampai kepadanya atau takdir Allah semata bukan karena mengotak- atik nama.
Adapun kesempitan ekonomi yang menimpa sebagian kita maka ini termasuk sunnatullah, menjadikan manusia bertingkat-tingkat dalam ekonomi.
(وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ) (النحل:71)
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah (QS. 16:71)
Sebagian Allah luaskan rezekinya dan sebagian Allah sempitkan Dan Allah melakukan apa yang Dia inginkan.. Allah meluaskan rezeki untuk sebagian dengan hikmah dan tujuan. Dan Allah sempitkan rezeki bagi yang lain dengan hikmah dan tujuan. Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita, Allah Maha Adil tidak akan mendhalimi hamba-hambaNya
Diantaranya hikmahnya adalah supaya manusia bisa saling memenuhi kebutuhan hidupnya. Bayangkan seandainya Allah menjadikan semua orang punya harta banyak maka siapa yang mau kerja menjadi pembantu, menjadi sopir, jualan di pasar, nelayan, kuli, guru dll. Dan kalau semuanya miskin maka siapa yang akan membeli barang dagangan, siapa yang menggaji pegawai dll. Allah berfirman:
(أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ) (الزخرف:32)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. 43:32)
Ketahuilah akhi, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah kehidupan sementara. Oleh karena itu janganlah bersedih karena Allah telah menyediakan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh kenikmatan yang luar biasa yang kekal abadi di akhirat. Allah berfirman:
(اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ) (الرعد:26)
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan didunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (QS. 13:26)
Hendaknya kita bersabar atas cobaan ini, sungguh kesabaran kita itu lebih baik bagi kita.
Berbaik sangkalah kepada Allah, Allah mengurangi rezeki untuk kemashlahatan kita, karena Allah tahu bahwa kalau kita diberi maka akan membuat kita lalai .
(وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ) (الشورى:27)
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat (QS. 42:27)
Mana yang kita pilih, mendapatkan apa yang kita inginkan tapi kita menjadi jauh dari Allah, atau hidup sederhana tapi dekat kepada Allah?
Koreksilah diri kita, mungkin kita memiliki dosa-dosa yang masih kita kerjakan, entah itu kedhaliman kepada keluarga, durhaka kepada orang tua, dosa terhadap Allah, kurang memperhatikan kewajiban (shalat, puasa dll). Allah berfirman:
(وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ) (الشورى:30)
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. 42:30)
Allah juga berfirman:
)مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيداً) (النساء:79(
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. 4:79)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لا يرد القضاء إلا الدعاء ، ولا يزيد في العمر إلا البر ، وإن الرجل ليحرم الرزق بالذنب يصيبه
"Tidak menolak ketentuan Allah kecuali doa, dan tidak menambah umur kecuali kebaikan, dan sungguh seseorang tertahan dari rezeki karena dosa yang dia lakukan" (HR. Al-Baghawy dalam Syarhussunnah, hadist hasan, dari tsauban .)
Kalau kita mau bertaubat dan kembali kepada Allah maka bergembiralah dengan kabar dari Allah :
(وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) (لأعراف:96)
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. 7:96)
Keberkahan dari langit dan bumi. Dan keberkahan tidak harus banyaknya harta namun kebaikan yang banyak dan kecukupan yang dibawa harta tersebut meskipun hanya sedikit.
Allah balas orang yang mau takwa dan takut kepadaNya dengan diberikan jalan keluar terhadap semua masalah, dan diberikan rezeki dari arah yang tidak dia sangka.
( وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً)(الطلاق: من الآية2) )وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً) (الطلاق:3)
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. (QS. 65:2) Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. 65:3)
Adapun keluasan rezeki tanpa ada ketakwaan kepada Allah seperti yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah maka itu adalah istidraj (diberi supaya bertambah jauh dari Allah kemudian diadzab dengan adzab yang pedih). Allah berfirman:
)وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْماً وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ) (آل عمران:178)
Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (QS. 3:178)
Allah juga berfirman:
(وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآياتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ) (لأعراف:182)
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS. 7:182)

Kemudian untuk memperbaiki kehidupan kita dalam masalah ekonomi maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada agama Dzat Yang Maha Memberi Rezeki, yang perbendaharaan langit dan bumi menjadi milikNya.
Diantara bentuk kembali kepada agama Allah adalah:
Pertama: Beriman kepada takdir
Seseorang muslim hendaklah meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa rezeki sudah ditulis dan ditentukan oleh Allah, tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السماوات والأرض بخمسين ألف سنة
"Allah telah menulis takdir-takdir untuk ciptaanNya 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi" (HR. Muslim, dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash.)
Lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi sudah ditulis takdir kita, diantaranya sudah ditulis rezekinya. Si fulan selama hidupnya akan memakan beras berapa ton, meminum air berapa ribu liter, kekayaan sekian semuanya sudah Allah tulis di lauhil Mahfudz.
Kemudian dalam hadist Ibnu Mas'ud: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa ketika janin dalam perut berumur 120 hari atau 4 bulan kurang lebih:
فينفخ فيه الروح ويؤمر بأربع كلمات بكتب رزقه وأجله وعمله وشقي أو سعيد
"Maka malaikat meniupkan ruh kepada janin tersebut, dan diperintah untuk menulis 4 perkara, rezekinya, ajalnya, amalannya, dia termasuk penduduk neraka yang celaka atau penduduk surga yang bahagia" (HR. Muslim)
Demikianlah seorang bayi sebelum lahir sudah ditulis rezekinya oleh malaikat dengan perintah dari Allah, dan apa yang ditulis malaikat tersebut tidak menyimpang dari apa yang sudah tertuang di Al-lauhil Mahfudz.
Kemudian apa yang tertulis tersebut pasti akan terjadi. Tidak akan ada seorangpun yang bisa merubahnya. Seseorang tidak bisa merebut rezeki orang lain, dan tidak bisa direbut rezekinya. Masing-masing sudah memiliki rezeki yang sudah ditentukan.

Kedua: Mengambil sebab rezeki dengan bekerja dan berusaha
Allah yang telah menulis rezeki kita Dia pulalah yang telah memerintah manusia untuk berusaha dan bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana dalam firmanNya:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung
Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberikan motivasi kepada kita untuk berusaha dan tidak bergantung kepada orang lain, sebagaimana dalam hadist Abu Hurairah  :
( لأن يحتطب أحدكم حزمة على ظهره خير من أن يسأل أحدا فيعطيه أو يمنعه
"Sungguh salah seorang dari kalian mencari kayu bakar dan memikulnya di atas punggungnya itu lebih baik dari pada dia meminta-minta kepada manusia, baik memberi atau tidak memberi" (Muttafaqun 'alaihi)
Dan bukan berarti kalau kita berusaha kemudian kita tergolong orang yang tidak bertawakkal kepada Allah, bahkan ini termasuk kesempurnaan ketawakkalan seorang mukmin kepada Allah .
Dari Umar bin Al-Khaththab  beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لو أنكم كنتم توكلون على الله حق توكله لرزقتم كما يرزق الطير تغدو خماصا وتروح بطانا
"Seandainya kalian benar-benar bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung-burung, pergi pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang" (HR. At-Tirmidzy dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)
Dalam hadist ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa termasuk tawakkal kepada Allah adalah berusaha, karena burung-burung mereka bertawakkal kepada Allah dan keluar dari sarangnya untuk mencari makan.
Demikian pula ada seorang sahabat  bertanya kepada Rasulullah: Ya Rasulullah, aku ikat unta ini kemudian bertawakkal atau aku lepaskan kemudian aku bertawakkal? Maka beliau menjawab: Ikatlah kemudian bertawakkal (HR. At-Tirmidzy dari Anas bin Malik , dan dihasankan Syeikh Al-Albany)

Dan seorang muslim dalam mencari rezeki hendaknya mengikuti adab-adab berikut:
A. Tujuan kita bekerja adalah untuk menopang ibadah kita
Allah ta'ala tidaklah menciptakan kita kecuali untuk beribadah kepadaNya, Allah beriman :
(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ) (الذريات:56)
"Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu"
Dan tidaklah Allah menciptakan alam semesta dan seiisinya kecuali supaya menjadi pendukung kita beribadah untuk mencari kebahagiaan di akhirat. Allah berfirman:
(وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا )(القصص: من الآية77)
"Dan carilah negeri akhirat di dalam apa-apa yang Allah berikan kepadamu, dan janganlah engkau lupakan bagianmu di dunia"
Oleh karena hendaklah kita camkan bahwa niat kita berusaha dan bekerja adalah untuk mendukung ibadah kita kepada Allah. Kita bekerja untuk mendapatkan uang , untuk menutupi aurat kita, bisa kuat beribadah shalat, haji, shadaqah, untuk silaturrahmi ke rumah saudara, membiayai anak yatim, menjaga diri dari meminta-minta dll.
Yang sangat disayangkan adalah menjadikan uang menjadi seakan-akan tujuan kita diciptakan, dan melupakan ibadah.

B. Mencari rezeki yang halal
Rezeki yang haram merupakan sebab seseorang terjerumus ke dalam neraka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
كل جسد نبت من سحت فالنار أولى به
"Setiap jasad yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih pantas untuknya" (HR. Ath-Thabrany, dan dishahihkan Al-Albany dalam Shahihul Jami 4519)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa rezeki yang haram adalah diantara sebab tidak dikabulkannya doa. Siapa yang akan mengabulkan doa selain Allah ?

C.Tidak bertawakkal kepada sebab tersebut
Mengambil sebab adalah disyari'atkan, akan tetapi bertawakkal dan berserah diri kepada sebab dan menganggap bahwa sebab tersebut yang dengan sendirinya memberi manfaat maka ini adalah kesyirikan. Yang seharusnya adalah mengambil sebab dan tetap bertawakkal kepada Allah yang telah menciptakan sebab tersebut. Kalau Allah menghendaki maka kita akan diberi rezeki dengan sebab tersebut, dan kalau Allah menghendaki maka kita tidak diberi rezeki dengan sebab tersebut.
Dalam dzikir setelah shalat disebutkan:
لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير اللهم لا مانع لما أعطيت ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منك الجد
"Ya Allah tidak ada yang memberi apa yang Engkau tahan, dan tidak ada yang menahan apa yang Engkau beri" (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Al-Mughirah bin Syu'bah .)

D.Merasa cukup dengan pemberian Allah (Qanaah)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى النفس
"Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya perhiasan dunia, akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa (merasa cukup dan kaya dengan pemberian Allah)"( HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Hurairah)
Orang yang tidak memiliki rasa qanaah maka hidupnya akan senantiasa dirundung rasa tamak dan kurang terus meskipun dia sudah memiliki banyak harta. Tidak pernah merasa puas dan cukup dengan harta yang Allah berikan. Dia tidak akan sadar sampai ajal menjemputnya.

E.Berdoa
Dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setiap selesai salam dari shalat subuh beliau mengatakan:
اللهم إني اسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا
Ya Allah aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, dan rezeki yang baik, dan amal shaleh yang diterima" (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany )
Dan dalam doa keluar masjid:
اللهم إني أسألك من فضلك
"Ya Allah aku memohon diantara rezekiMu"( HR. Muslim)
Sebagian ulama mengatakan: Kita mengucapkan doa ini karena ketika kita keluar masjid maka kita akan disibukkan dengan mencari rezeki.

F. Jangan sampai kesibukkan kita dalam mencari rezeki melalaikan kita dari menuntut ilmu, beribadah , dan berdakwah
Mencari rezeki dan menuntut ilmu bukanlah 2 hal yang bertentangan bagi siapa yang diberi taufiq oleh Allah dan memiliki kesungguhan. Dari Umar bin Khaththab beliau berkata:
عن عمر قال : كنت أنا وجار لي من الأنصار في بني أمية بن زيد وهي من عوالي المدينة وكنا نتناوب النزول على رسول الله صلى الله عليه و سلم ينزل يوما وأنزل يوما فإذا نزلت جئته بخبر ذلك اليوم من الوحي وغيره وإذا نزل فعل مثل ذلك
"Dulu aku dan tetanggaku dari kaum Anshar tinggal di qabilah Umayyah bin Zaid di Awali Al-Madinah, kami bergantian pergi ke tempat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, hari ini aku yang pergi,kemudian besok dia yang pergi. Kalau aku yang pergi maka aku akan kembali kepadanya dengan membawa kabar hari itu baik wahyu maupun yang lain, dan kalau dia yang pergi maka juga melakukan yang demikian" (HR. Al-Bukhary)
Namun ini semua tidak bisa dilakukan kecuali seseorang memiliki qanaah, kalau tidak maka akan terbengkalai ilmu, ibadah, dan dakwahnya.
Wallahu a'lam.